“Kegagalan adalah bukti dari kesuksesan yang
tertunda. Gagal bukan untuk diratapi, namun harus disikapi dengan bijak dan
ikhlas untuk menjadi pijakan kuat dalam meraih sukses.”
Maret
2012 mengukir cerita kegagalanku. Aku memiliki sahabat terbaik, namanya Nisa.
Nisa
adalah mahasiswi yang saat itu duduk dibangku semester enam di salah satu
universitas swasta yang ada di Yogyakarta. Segala yang Aku lakukan seringkali
bersamaan dengan Nisa. Persahabatan kami terjalin cukup lama sekitar empat
tahun. Nisa adalah sahabat yang begitu baik. Sopan tutur bahasanya, dan sangat
muslimah penampilannya. Hampir rata-rata gaya kami berdua sehari-hari sama.
Jika dianalogikan, persahabatan kami ibarat Gelas dan tutupnya. Selalu saling
melengkapi ketika ada yang mengalami kesulitan, saling menutupi kekuarangan
satu sama lain.
Suatu
ketika Aku diajak Nisa untuk ikut pendaftaran Kuliah kerja nyata mubaligh
hijrah (KKN MH). Saat itu Aku dengan penuh keyakinan mengikuti pendaftaran KKN
MH. Alasan Aku mengikuti pendaftaran saat itu karena jumlah SKS ku sudah
melewati angka minimal dari yang ditentukan bagian lembaga pengabdian
masyarakat (LPM). Jumlah yang ditentukan untuk bisa mengikuti KKN MH adalah 100
SKS.
Pagi
itu ku lengkapi semua persyaratan bersama Nisa. dengan rasa penuh bahagia,
setibanya di LPM, semua berkas-berkasku diperiksa oleh salah satu petugas Lpm,
dan Aku dinyatakan belum lulus dalam pendaftaran KKN MH.
Kaget
tiada terkira, ketika Nisa lolos dan Aku dinyatakan tidak berhasil, sementara
jumlah SKS ku melebihi standart yang ditentukan bagian Lpm.
“Lho,, kok ditolak ya pak?” Tanyaku dengan rasa
penasaran.
“iya mba, memang jumlah sks anda 102. Namun maaf
mba, karena ada mata kuliah anda yang belum diulang satu, dan itu jumlahnya
tiga sks. Jadinya 102 dikurangi tiga sks tertunda maka totalnya hanya 99 sks.
Dengan begitu maka anda belum berhasil” ucap petugas itu.
Saat
Aku dinyatakan tidak lolos, Aku langsung mengabarkan kedua orang tuaku. Kecewa
itu pasti ada, namun lagi-lagi kata-kata penguat sang ibunda dan ayahanda yang
begitu jauh lebih menyemangati sehingga membuatku kuat. Ibu dan Ayah selalu
mengatakan kepadaku bahwa “Kegagalan yang diterima saat ini tandanya memang
belum rezekiku, ikhlas saja menerima, karena mungkin Allah Ta’ala jauh lebih
mengerti apa yang terbaik untuk ku. “
Kecewa
itu lalu berubah menjadi kebahagiaan yang tiada terkira, saat kedua orang tuaku
juga sahabatku Nisa memberikan nasihat untukku. Dengan itu Aku juga percaya,
mungkin Allah memang sedang menyiapkan seuatu yang istimewa untuk ku.
Hari
berganti minggu, dan minggu kini berganti bulan, tak terasa bulan Juli kini
datang menghampiri. Aku lalu mengajukan keinginanku kepada ayah agar Aku diberi
izin mudik ke daerah asalku di Maluku Utara. Tanpa menolak Ayah lalu menelpon
bagian penjualan tiket pesawat dan saat itu Aku berhasil mengantongi izin dari Ayahku.
Ketika
itu rasa bahagia menari-nari dalam setiap hari-hariku, Aku lalu mengabarkan tentang
rencana kepulanganku kepada beberapa sahabat-sahabatku di Maluku utara.
Mendengar ceritaku akan pulang, sahabat-sahabatku juga ikut bahagia, dan yang
buat Aku tak henti-hentinya bersyukur yaitu dibulan Agustus 2012 teman-teman SD
ku mengadakan reuni bersama semua angkatanku lulusan tahun 2002/2003. Dengan
begitu Aku bisa kembali menjalin silaturrahim bersama teman-teman SD dan juga
para dewan guru.
Sungguh
benar adanya, bahwa bingkisan hikmah dari Allah akan jauh lebih indah dari
kegagalan yang dihadirkan-Nya. “Dan nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu
dustakan.” Setiap
kejadian dan kegagalan yang menimpa bukanlah karena Allah membenci kita, namun
itu bukti kasih sayang Allah untuk menaikkan derajat setiap hamba-hamba-Nya
yang beriman dan bersabar. Dalam setiap kegagalan akan tersimpan hikmah yang
bisa dipetik untuk dijadikan sebuah pelajaran hidup.
Husna
Syifa Ubaidillah
(dalam
Syukur yang tiada terkira, 11 September 2012 YK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar